Dalam upaya pelurusan sejarah tentang jatidiri daripada leluhur kita Allahyarham Haji Rais yang merupakan cikal bakal dari keberadaan kita hari ini, maka kami terus berupaya untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang ada.
Dalam hal ini terutama dari para sesepuh yang berada pada kelompok generasi 3 & 4 dari garis keturunan langsung Haji Rais seperti di antaranya dari Hajjah Mardiah Muhammad Nur {putri ke-2 daripada Hajjah Siti Habsah; putri ke-3 daripada Haji Rais} & HM. Thahar {putra ke-2 daripada Marliyah Bt Rasidin; putri pertama dari Umi Kalsum; putri pertama daripada Haji Rais}.
Alhamdulillah, dengan berkat bidayah Allah SWT, asal-usul daripada leluhur kita HAJI RAIS sedikit demi sedikit mulai terkuak dan semoga akan menjadi semakin terang.
Tulisan ini dibuat untuk didiskusikan bersama para sesepuh kita samada yang berada di semenanjung Malaysia maupun di Indonesia, untuk dikoreksi, di-edit dan disempurnakan, agar sejarah keluarga besar Haji Rais menjadi semakin terang benderang bagi kita semua, para anak cucu-cicit beliau.
Bertitiktolak pada informasi yang berhasil kami himpunkan dari kedua beliau tersebut diatas, maka kisah perjalanan hidup leluhur kita Allahyarham HAJI RAIS dapat dirangkaikan sebagai berikut:
"Konon kabarnya, dipertengahan abad ke-18, setelah Perjanjian Gayanti, dimana kerajaan Mataram yang besar telah terbagi menjadi dua bagian yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta dan keadaan negeri sudah semakin tenang, leluhur kita "Haji Rais" telah berkhidmat di kesultanan Yogyakarta sebagai abdi dalem terpercaya kraton Yogyakarta.
Meskipun pada masa itu pemerintahan kolonial Hindia Belanda telah menguasai sebagian besar wilayah Hindia Belanda (Indonesia), namun kekuasaan para raja/sultan diberbagai kawasan Jawa, Sumatra dan Kalimantan masih cukup besar.
Dikisahkan bahwa pada suatu masa, baginda Sultan Yogyakarta berkenan menikahkan salah satu putri keluarga kerajaan dengan salah seorang pangeran dari Kerajaan Bulungan (?) yang berasal dari Kalimantan. Pernikahan agung ini di hadiri oleh para sultan, raja serta para bangsawan yang datang dari berbagai penjuru negeri dimana salah satu tamu agung yang berkenan hadir pada masa itu adalah Sultan Langkat beserta keluarga dan rombongannya
Sebagaimana lazimnya, para tetamu agung yang berkenan hadir pada upacara pernikahan daripada putri kerajaan Yogyakarta itupun tidak datang berhampa-tangan, tapi semuanya membawa bingkisan/cendramata bagi sang pengantin berupa perhiasan emas permata, kain sutra dewangga dan lain sebagainya yang tentunya sangatlah indah dan tak ternilai harganya. Dan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kehadiran para sultan/raja & bangsawan di hari pernikahan putri itu, maka baginda Sri Sultan Hamengkubowono (?) pun balas memberikan cendramata kepada para tetamu agung yang berkenan hadir itu dengan aneka hadiah/cendramata yang sama baiknya
Sebagai penghormatan dan ungkapan rasa terima kasih baginda Sultan Yogyakarta kepada Sultan Langkat yang berkenan hadir di hari pernikahan itu, secara khusus baginda sultan Matarampun mempersembahkan sepasang kuda kesayangan beliau kepada baginda sultan Langkat.
Konon, tak berapa lama setelah perhelatan agung itu berakhir dan para tetamu agungpun sudah kembali ke negerinya masing-masing, maka baginda sultan Yogyakarta mengutus satu regu pengawal istana yang dipimpin oleh salah seorang abdi dalem kepercayaan baginda sultan untuk mengantarkan hadiah berupa sepasang kuda istana kraton Yogyakarta tersebut untuk dipersembahkan langsung ke hadapan baginda sultan Langkat yang berada di pulau Sumatra.
Pada saat yang telah ditentukan, utusan khusus sultan Yogyakarta (yang kelak kita kenal sebagai Haji Rais) beserta regu pengawalnya, kemudian berlayar menuju pulau Sumatra dengan membawa semua perbekalan yang diperlukan bagi kepetingan hantaram kuda-kuda hadiah dari sultan Yogya kepada sultan Langkat tersebut.
Singkat cerita, setelah beberapa kama pelayaran, Haji Rais beserta regu pengawalnya itupun sampailah di istana sultan Langkat dengan selamat. Dengan kedudukannya saat itu sebagai utusan khusus Sultan Yogyaraja, maka kedatangan Haji Rais beserta rombongannya pun disambut dengan upacara kerajaan.
Ketika berhadapan dengan sultan Langkat, dengan ta'zim, Ki Rais selaku utusan khusus baginda sultan Yogyakarta mempersembahkan sepucuk surat pribadi dari Sri Sultan kepada sultan Langkat yang isinya antara lain adalah bahwa beliau telah mengutus Haji Rais dan para prajurit istana kraton Yogya untuk mempersembahkan cendramata berupa sepasang kuda ras istimewa kepada Sribaginda Sultan Langkat.
Pesan lainnya adalah bahwa sribaginda sultan Yogya juga meminta perkenan sultan Langkat agar para utusan khususnya yaitu Haji Rais dan para pengawalnya kiranya dapat diijinkan tetap tinggal di kerajaan dan untuk seterusnya mengabdi kepada sultan Langkat.
Sri baginda sultan Langkat menerima cendramata sepasang kuda dari Sultan Yogyakarta tersebut serta berkenan menerima "Ki Rais" dan para pengawalnya untuk tetap tinggal dilingkungan istana kesultanan Langkat.
Kepada Ki Rais, sultan Langkat berkenan memberikannya kedudukan khusus dan diizinkan untuk tinggal di lingkungan istana Langkat, sedangkan untuk para pengawalnya, baginda sultan mengangkat mereka sebagai prajurit pengawal di istana sultan Langkat.
Konon, pada saat pertamakali menginjakkan kaki di pulau Sumatra sebagai utusan khusus sultan Yogyakarta kepada sultan Langkat, Ki Rais hanya datang berdua saja dengan sang istri (Saadiah) sedangkan para prajurit pengawalnya yang kebanyakan masih lajang datang berseorangan diri.
Arkian, seiring dengan perjalanan waktu, pasangan Haji Rais & Hajjah Saadiah telah dianugrahi Allah SWT dengan tujuh orang putra-putri yang kesemuanya lahir di lingkungan istana sultan Langkat yang sangat kental dengan budaya Melayunya, sehingga meskipun keluarga Haji Rais sepenuhnya berdarah dan berbudaya asli Jawa. Namun anak keturunannya lahir dan tumbuh-berkembang dilingkungan Melayu, bahkan lebih unik lagi, semua putra-putri Haji Rais lahir dan tumbuh tepat berada di pusat culture Melayu (istana Langkat).
Itulah sebabnya meskipun semua anak-anaknya kental berdarah Jawa, namun tak satupun diantaranya yang memakai nama orang Jawa, sebaliknya semuanya diberi nama-nama yang lazim digunakan oleh masyarakat islam melayu yaitu sebagai berikut (sesuai urutan kelahirannya): (1) Hajjah Umi Kalsum; (2) Haji Habib Rais; (3) Hajjah Siti Fatimah; (4) Hajjah Siti Maryam; (5) Hajjah Siti Zainab; (6) Haji Saaid Rais; dan (7) Hajjah Siti Habsah.
Pada tulisan kami sebelumnya, dikisahkan bahwa leluhur kita Haji Rais telah menunaikan ibadah Haji dengan membawa serta semua putra-putrinya. Usai menunaikan ibadah haji, beliau dan putra-putrinya langsung pulang kembali ke Tanjung Pura Langkat, kecuali putra ke-2 beliau (Haji Habib Rais) yang ingin tinggal sementara di Arab Saudi untuk menimba ilmu. Konon kabarnya, beliau bermukim disana selama 6 (enam) tahun.
Beberapa tahun kemudian, tak lama sekembalinya dari Arab Saudi, Haji Habib Rais mendapat tawaran dari pemerintah kolonial Belanda untuk membuka lahan perkebunan getah di salah koloni Belanda di semenanjung Malaya.
Setelah bermusyawarat dengan kedua ayah-bundanya, maka Haji Habib Rais memutuskan untuk menerima tawaran kontrak kerja itu dan berhijrah ke Malaya.
Untuk referensi, mari kita baca lagi tulisan dari sesepun kita Dato' Seri Hussaini Bin Haji Jamil sebaga berikut:
"Haji Habib (ada nama Jawanya) mengikut keterangan arwah Pak Uda Hj.Johari kepada saya, telah berhijrah dari Medan untuk bekerja di sabuah ladang getah Belanda di Sungai Gedong berdekatan dengan Kampung Tua dan Gunung Semanggul. Satelah bekahwin dengan Tok Intan, bersama dengan beberapa keluarga lain, Haji Habib telah meneroka dan membuka Kampung di Jebong dimana anak-anaknya telah membesar. Setelah arwah Haji Abdul Jamil lulus dari Sultan Idris Teachers Training College, Tanjung Malim dan bertugas sebagai guru pelatih di Sekolah Melayu Matang, ia telah membeli sakeping tanah di Matang Road dan Haji Habib dan Tok Intan telah terus tinggal disitu. Haji Habib tinggal bersaorangan disitu satelah Tok Intan meninggal di Ipoh sehingga ia berpindah ka Sungai Bogak (satelah berkahwin) dimana ia telah meninggal dunia dan desemadikan di tanah perkuburan Gunung Semanggul. Haji Habib itu amat alim orangnya, berdekatan dengan rumah di Matang Road itu ia membina surau dimana ia beribadat, mengajar mengaji dan bersolat bersama dengan jiran-jiran. Adik-adiknya yang lain telah berhijrah ka Tanah Malaya salepas Haji Habib."
Mengacu pada tulisan Dato' Seri Hussaini tersebut diatas, maka dapat kita asumsikan bahwa adik-adik Haji Habib Rais yang lainnya yaitu : Hajjah Siti Fatimah; Hajjah Siti Zainab & Haji Saaid Rais, serta kedua orang tuanya yaitu Haji Rais & Hajjah Saadiah, telah berhijrah ka Tanah Malaya salepas Haji Habib." Dari ke-empat great grand mother/father inilah terlahir saudara sedarah kita yang masuk dalam kelompok "keturunan Haji Rais-Malaysia".
Sedangkan ke-3 orang saudara perempuannya yang sudah pun menikah (Hajjah Umi Kalsum, Hajjah Siti Maryam & Hajjah Siti Habsah), memilih untuk tetap tinggal di Tanjung Pura-Langkat sampai akhir hayatnya. Dari ke-tiga beliau inilah terlahir anak-cucu-cicit yang kita kenal sebagai kelompok "keturunan Haji Rais-Indonesia".
Bila merujuk pada cerita dari sesepuh kita dari generasi ke-3 yaitu Hajjah Mardiah Binti Mohammad Nur (cucunda daripada Haji Rais/putri dari Hajjah Siti Habsah Binti Haji Rais/Ibunda dari HM Saihan), diperolehi kabar bahwa sejak berhijrah ke semenanjung Malaya (Malaysia), Haji Rais tidak pernah lagi kembali ke Indonesia. Beliau terus menetap di Malaysia sampai akhir hayatnya. Konon, Haji Rais wafat dan dimakamkan di negeri IPOH-PERAK (?).
Namun, berdasarkan informasi dari Dato' Seri Haji Hussaini Bin Haji Jamil yang merupakan salahsatu cucunda langsung daripada Haji Habib atau cicit dari Haji Rais (generasi ke-4), yang masih sempat berkumpul bersama sang kakek (Haji Habib), beliau memperkirakan bahwa kemungkinan besar leluhur kita Haji Rais wafat di Indonesia dan dimakamkan disalah satu tempat entah itu di Sumatera (Tanjung Pura) atau mungkin juga di pulau Jawa (Yogyakarta) karena sepanjang yang beliau ingat, sang kakek (Haji Habib), sebagai putra daripada Haji Rais, tidak pernah menyinggung ikhwal dimana Haji Rais wafat dan dimakamkan. Berikut ini komentar beliau lainnya:
"Setakat yang saya tahu, Haji Rais telah tidak berhijrah ka tanah Malaya. Pada jangkaan saya, ia telah meninggal di Medan atau Tanah Jawa dan disemadikan disitu. Mengikut arwah Pak Uda, Haji Rais telah meninggalkan Jogjakarta dan berhijrah ka Medan berikutan masaalah dengan Belanda. Haji Habib sendiri ada memaklumkan saya bahwa ia telah tinggal di Mekah beberapa tahun sabelum kembali ka Medan. Saya biasa menziarah kubur Haji Habib bersama arwah ayah saya tetapi kubur itu bertandakan batu sungai dan sukar dikesan sekarang. Apa yang perlu sekarang ialah untuk mengesan pusara arwah Haji Rais dari kaum keluarga tua yang masih hidup lagi samada di Malaysia atau pun Indonesia".
Dalam hal ini terutama dari para sesepuh yang berada pada kelompok generasi 3 & 4 dari garis keturunan langsung Haji Rais seperti di antaranya dari Hajjah Mardiah Muhammad Nur {putri ke-2 daripada Hajjah Siti Habsah; putri ke-3 daripada Haji Rais} & HM. Thahar {putra ke-2 daripada Marliyah Bt Rasidin; putri pertama dari Umi Kalsum; putri pertama daripada Haji Rais}.
Alhamdulillah, dengan berkat bidayah Allah SWT, asal-usul daripada leluhur kita HAJI RAIS sedikit demi sedikit mulai terkuak dan semoga akan menjadi semakin terang.
Tulisan ini dibuat untuk didiskusikan bersama para sesepuh kita samada yang berada di semenanjung Malaysia maupun di Indonesia, untuk dikoreksi, di-edit dan disempurnakan, agar sejarah keluarga besar Haji Rais menjadi semakin terang benderang bagi kita semua, para anak cucu-cicit beliau.
Bertitiktolak pada informasi yang berhasil kami himpunkan dari kedua beliau tersebut diatas, maka kisah perjalanan hidup leluhur kita Allahyarham HAJI RAIS dapat dirangkaikan sebagai berikut:
"Konon kabarnya, dipertengahan abad ke-18, setelah Perjanjian Gayanti, dimana kerajaan Mataram yang besar telah terbagi menjadi dua bagian yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta dan keadaan negeri sudah semakin tenang, leluhur kita "Haji Rais" telah berkhidmat di kesultanan Yogyakarta sebagai abdi dalem terpercaya kraton Yogyakarta.
Meskipun pada masa itu pemerintahan kolonial Hindia Belanda telah menguasai sebagian besar wilayah Hindia Belanda (Indonesia), namun kekuasaan para raja/sultan diberbagai kawasan Jawa, Sumatra dan Kalimantan masih cukup besar.
Dikisahkan bahwa pada suatu masa, baginda Sultan Yogyakarta berkenan menikahkan salah satu putri keluarga kerajaan dengan salah seorang pangeran dari Kerajaan Bulungan (?) yang berasal dari Kalimantan. Pernikahan agung ini di hadiri oleh para sultan, raja serta para bangsawan yang datang dari berbagai penjuru negeri dimana salah satu tamu agung yang berkenan hadir pada masa itu adalah Sultan Langkat beserta keluarga dan rombongannya
Sebagaimana lazimnya, para tetamu agung yang berkenan hadir pada upacara pernikahan daripada putri kerajaan Yogyakarta itupun tidak datang berhampa-tangan, tapi semuanya membawa bingkisan/cendramata bagi sang pengantin berupa perhiasan emas permata, kain sutra dewangga dan lain sebagainya yang tentunya sangatlah indah dan tak ternilai harganya. Dan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kehadiran para sultan/raja & bangsawan di hari pernikahan putri itu, maka baginda Sri Sultan Hamengkubowono (?) pun balas memberikan cendramata kepada para tetamu agung yang berkenan hadir itu dengan aneka hadiah/cendramata yang sama baiknya
Sebagai penghormatan dan ungkapan rasa terima kasih baginda Sultan Yogyakarta kepada Sultan Langkat yang berkenan hadir di hari pernikahan itu, secara khusus baginda sultan Matarampun mempersembahkan sepasang kuda kesayangan beliau kepada baginda sultan Langkat.
Konon, tak berapa lama setelah perhelatan agung itu berakhir dan para tetamu agungpun sudah kembali ke negerinya masing-masing, maka baginda sultan Yogyakarta mengutus satu regu pengawal istana yang dipimpin oleh salah seorang abdi dalem kepercayaan baginda sultan untuk mengantarkan hadiah berupa sepasang kuda istana kraton Yogyakarta tersebut untuk dipersembahkan langsung ke hadapan baginda sultan Langkat yang berada di pulau Sumatra.
Pada saat yang telah ditentukan, utusan khusus sultan Yogyakarta (yang kelak kita kenal sebagai Haji Rais) beserta regu pengawalnya, kemudian berlayar menuju pulau Sumatra dengan membawa semua perbekalan yang diperlukan bagi kepetingan hantaram kuda-kuda hadiah dari sultan Yogya kepada sultan Langkat tersebut.
Singkat cerita, setelah beberapa kama pelayaran, Haji Rais beserta regu pengawalnya itupun sampailah di istana sultan Langkat dengan selamat. Dengan kedudukannya saat itu sebagai utusan khusus Sultan Yogyaraja, maka kedatangan Haji Rais beserta rombongannya pun disambut dengan upacara kerajaan.
Ketika berhadapan dengan sultan Langkat, dengan ta'zim, Ki Rais selaku utusan khusus baginda sultan Yogyakarta mempersembahkan sepucuk surat pribadi dari Sri Sultan kepada sultan Langkat yang isinya antara lain adalah bahwa beliau telah mengutus Haji Rais dan para prajurit istana kraton Yogya untuk mempersembahkan cendramata berupa sepasang kuda ras istimewa kepada Sribaginda Sultan Langkat.
Pesan lainnya adalah bahwa sribaginda sultan Yogya juga meminta perkenan sultan Langkat agar para utusan khususnya yaitu Haji Rais dan para pengawalnya kiranya dapat diijinkan tetap tinggal di kerajaan dan untuk seterusnya mengabdi kepada sultan Langkat.
Sri baginda sultan Langkat menerima cendramata sepasang kuda dari Sultan Yogyakarta tersebut serta berkenan menerima "Ki Rais" dan para pengawalnya untuk tetap tinggal dilingkungan istana kesultanan Langkat.
Kepada Ki Rais, sultan Langkat berkenan memberikannya kedudukan khusus dan diizinkan untuk tinggal di lingkungan istana Langkat, sedangkan untuk para pengawalnya, baginda sultan mengangkat mereka sebagai prajurit pengawal di istana sultan Langkat.
Konon, pada saat pertamakali menginjakkan kaki di pulau Sumatra sebagai utusan khusus sultan Yogyakarta kepada sultan Langkat, Ki Rais hanya datang berdua saja dengan sang istri (Saadiah) sedangkan para prajurit pengawalnya yang kebanyakan masih lajang datang berseorangan diri.
Arkian, seiring dengan perjalanan waktu, pasangan Haji Rais & Hajjah Saadiah telah dianugrahi Allah SWT dengan tujuh orang putra-putri yang kesemuanya lahir di lingkungan istana sultan Langkat yang sangat kental dengan budaya Melayunya, sehingga meskipun keluarga Haji Rais sepenuhnya berdarah dan berbudaya asli Jawa. Namun anak keturunannya lahir dan tumbuh-berkembang dilingkungan Melayu, bahkan lebih unik lagi, semua putra-putri Haji Rais lahir dan tumbuh tepat berada di pusat culture Melayu (istana Langkat).
Itulah sebabnya meskipun semua anak-anaknya kental berdarah Jawa, namun tak satupun diantaranya yang memakai nama orang Jawa, sebaliknya semuanya diberi nama-nama yang lazim digunakan oleh masyarakat islam melayu yaitu sebagai berikut (sesuai urutan kelahirannya): (1) Hajjah Umi Kalsum; (2) Haji Habib Rais; (3) Hajjah Siti Fatimah; (4) Hajjah Siti Maryam; (5) Hajjah Siti Zainab; (6) Haji Saaid Rais; dan (7) Hajjah Siti Habsah.
Pada tulisan kami sebelumnya, dikisahkan bahwa leluhur kita Haji Rais telah menunaikan ibadah Haji dengan membawa serta semua putra-putrinya. Usai menunaikan ibadah haji, beliau dan putra-putrinya langsung pulang kembali ke Tanjung Pura Langkat, kecuali putra ke-2 beliau (Haji Habib Rais) yang ingin tinggal sementara di Arab Saudi untuk menimba ilmu. Konon kabarnya, beliau bermukim disana selama 6 (enam) tahun.
Beberapa tahun kemudian, tak lama sekembalinya dari Arab Saudi, Haji Habib Rais mendapat tawaran dari pemerintah kolonial Belanda untuk membuka lahan perkebunan getah di salah koloni Belanda di semenanjung Malaya.
Setelah bermusyawarat dengan kedua ayah-bundanya, maka Haji Habib Rais memutuskan untuk menerima tawaran kontrak kerja itu dan berhijrah ke Malaya.
Untuk referensi, mari kita baca lagi tulisan dari sesepun kita Dato' Seri Hussaini Bin Haji Jamil sebaga berikut:
"Haji Habib (ada nama Jawanya) mengikut keterangan arwah Pak Uda Hj.Johari kepada saya, telah berhijrah dari Medan untuk bekerja di sabuah ladang getah Belanda di Sungai Gedong berdekatan dengan Kampung Tua dan Gunung Semanggul. Satelah bekahwin dengan Tok Intan, bersama dengan beberapa keluarga lain, Haji Habib telah meneroka dan membuka Kampung di Jebong dimana anak-anaknya telah membesar. Setelah arwah Haji Abdul Jamil lulus dari Sultan Idris Teachers Training College, Tanjung Malim dan bertugas sebagai guru pelatih di Sekolah Melayu Matang, ia telah membeli sakeping tanah di Matang Road dan Haji Habib dan Tok Intan telah terus tinggal disitu. Haji Habib tinggal bersaorangan disitu satelah Tok Intan meninggal di Ipoh sehingga ia berpindah ka Sungai Bogak (satelah berkahwin) dimana ia telah meninggal dunia dan desemadikan di tanah perkuburan Gunung Semanggul. Haji Habib itu amat alim orangnya, berdekatan dengan rumah di Matang Road itu ia membina surau dimana ia beribadat, mengajar mengaji dan bersolat bersama dengan jiran-jiran. Adik-adiknya yang lain telah berhijrah ka Tanah Malaya salepas Haji Habib."
Mengacu pada tulisan Dato' Seri Hussaini tersebut diatas, maka dapat kita asumsikan bahwa adik-adik Haji Habib Rais yang lainnya yaitu : Hajjah Siti Fatimah; Hajjah Siti Zainab & Haji Saaid Rais, serta kedua orang tuanya yaitu Haji Rais & Hajjah Saadiah, telah berhijrah ka Tanah Malaya salepas Haji Habib." Dari ke-empat great grand mother/father inilah terlahir saudara sedarah kita yang masuk dalam kelompok "keturunan Haji Rais-Malaysia".
Sedangkan ke-3 orang saudara perempuannya yang sudah pun menikah (Hajjah Umi Kalsum, Hajjah Siti Maryam & Hajjah Siti Habsah), memilih untuk tetap tinggal di Tanjung Pura-Langkat sampai akhir hayatnya. Dari ke-tiga beliau inilah terlahir anak-cucu-cicit yang kita kenal sebagai kelompok "keturunan Haji Rais-Indonesia".
Bila merujuk pada cerita dari sesepuh kita dari generasi ke-3 yaitu Hajjah Mardiah Binti Mohammad Nur (cucunda daripada Haji Rais/putri dari Hajjah Siti Habsah Binti Haji Rais/Ibunda dari HM Saihan), diperolehi kabar bahwa sejak berhijrah ke semenanjung Malaya (Malaysia), Haji Rais tidak pernah lagi kembali ke Indonesia. Beliau terus menetap di Malaysia sampai akhir hayatnya. Konon, Haji Rais wafat dan dimakamkan di negeri IPOH-PERAK (?).
Namun, berdasarkan informasi dari Dato' Seri Haji Hussaini Bin Haji Jamil yang merupakan salahsatu cucunda langsung daripada Haji Habib atau cicit dari Haji Rais (generasi ke-4), yang masih sempat berkumpul bersama sang kakek (Haji Habib), beliau memperkirakan bahwa kemungkinan besar leluhur kita Haji Rais wafat di Indonesia dan dimakamkan disalah satu tempat entah itu di Sumatera (Tanjung Pura) atau mungkin juga di pulau Jawa (Yogyakarta) karena sepanjang yang beliau ingat, sang kakek (Haji Habib), sebagai putra daripada Haji Rais, tidak pernah menyinggung ikhwal dimana Haji Rais wafat dan dimakamkan. Berikut ini komentar beliau lainnya:
"Setakat yang saya tahu, Haji Rais telah tidak berhijrah ka tanah Malaya. Pada jangkaan saya, ia telah meninggal di Medan atau Tanah Jawa dan disemadikan disitu. Mengikut arwah Pak Uda, Haji Rais telah meninggalkan Jogjakarta dan berhijrah ka Medan berikutan masaalah dengan Belanda. Haji Habib sendiri ada memaklumkan saya bahwa ia telah tinggal di Mekah beberapa tahun sabelum kembali ka Medan. Saya biasa menziarah kubur Haji Habib bersama arwah ayah saya tetapi kubur itu bertandakan batu sungai dan sukar dikesan sekarang. Apa yang perlu sekarang ialah untuk mengesan pusara arwah Haji Rais dari kaum keluarga tua yang masih hidup lagi samada di Malaysia atau pun Indonesia".
Wassalam dan Terima kasih.
Hariswan Syahruddin
Hariswan Syahruddin